Keistimewaan Koto Tinggi, Kampung yang Pernah Menjadi Ibu Kota Negara

Keistimewaan Koto Tinggi, Kampung yang Pernah Menjadi Ibu Kota Negara

5 Oktober 2020
Kantor Wali Nagari Koto Tinggi (Foto: Istimewa/internet)

Kantor Wali Nagari Koto Tinggi (Foto: Istimewa/internet)

RIAU1.COM - Tak banyak yang mengetahui bahwa Sebuah desa kecil di Sumatra Barat (Sumbar) pernah dijadikan sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.

Nagari itu bernama Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota dinukil dari indonesia.go.id, Senin, 5 Oktober 2020.

Nagari ini dipilih karena memiliki struktur geografis strategis diyakini mempengaruhi keputusan pemimpin kala itu dalam mengambil kebijakan mengenai ibu kota negara.

Sayang, tak ada bangunan bekas kantor PDRI yang bisa dijumpai saat ini. Itu karena memang tokoh-tokoh bangsa kala itu selalu bergerak sebagai strategi perjuangan. Dimana berada, disitulah mereka menetap.

Saat itu Indonesia bernama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan pada tahun 1948 di Halaban Limapuluh Kota akibat agresi Belanda yang menawan Soekarno-Hatta.

Mencegah terjadinya kevakuman pimpinan negara, Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Perekonomian yang saat itu sedang berada di Bukittinggi mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat dan terus menginformasikan kepada dunia akan eksistensi Indonesia.

Saat mendapat kabar penyerangan di Yogya, Syafruddin bersama rombongan langsung meninggalkan Bukittinggi, setelah sebelumnya menghanguskan seluruh sarana prasarana yang ada, kecuali sebuah stasiun radio.

Dari Bukittinggi Syafruddin bergerak ke Halaban. Daerah ini dipilih karena menjadi posko Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sehingga mereka berpendapat keamanannya cukup terjamin.

Di sanalah Menteri Syafruddin menunggu kedatangan tokoh lainnya seperti Gubernur Militer Sumatra Barat, Rasjid.

Setelah PDRI terbentuk, pemerintahan dijalankan di Koto Tinggi karena mempertimbangkan beberapa faktor seperti strategis, memiliki benteng yang kuat serta dekat dengan Riau dan Sumatra Utara.

Dari sini banyak siaran radio mengudara menginformasikan keberadaan Indonesia. Membuat Belanda gerah dan melakukan penyerangan ke Koto Tinggi pada 10 Januari 1949.

Syarif MP, Engku Kayo Zakaria, Dirin, Nuin, Radian, Manus, Nyik Ali, Abas dan Mak Dirin tewas. Mereka gugur karena dihujani Belanda dengan tembakan saat merusak jembatan Titian Dalam agar pasukan Belanda tidak bisa masuk ke Koto Tinggi tempat para pimpinan PDRI.

Meski hanya bersenjatakan kampak, namun Syarif MP kala itu berhasil membunuh seorang tentara Belanda dengan kampaknya.

Untuk diketahui, PDRI dan PRRI adalah dua hal yang berbeda. PDRI berada di periode 1948-1949, sedangkan PRRI di tahun 1949-1950. PDRI merupakan penyelamat negara, sementara PRRI bentuk ketidakpuasaan atas pemerintah pusat.