Kejahatan Terhadap Ideologi Negara

Kejahatan Terhadap Ideologi Negara

26 Juni 2020
Dr Erdianto Effendi (Net)

Dr Erdianto Effendi (Net)

RIAU1.COM - Hukum Pidana berfungsi melindungi negara, pemerintah, masyarakat, warga negara dan harta benda baik milik negara maupun  milik warga negara. Perlindungan itu diwujudkan dalam pasal-pasal dalam hukum pidana baik yang terdapat dalam KUHP maupun Undang-undang di luar hukum pidana.

Pasal pertama dalam buku II tentang Kejahatan dalam KUHP menyatakan bentuk perlindungan itu dengan menempatkan 3 (tiga) pasal tentang delik yang disebut sebagai delik makar (anslag) yaitu Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal 107. Ketiga pasal tersebut melindungi negara dari ancaman makar terhadap simbol negara yaitu Presiden dan atau Wakil Presiden, wilayah negara dan pemerintah.  

Karena merupakan warisan kolonial, perlindungan hukum pidana terhadap simbol negara “berhenti” sebatas itu saja untuk disebut sebagai delik makar. Istilah delik makar baru muncul lagi dalam Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 yaitu makar terhadap negara sahabat. 

Namun, bukan berarti simbol-simbol negara yang lainnya tidak dilindungi. Simbol-simbol negara yang lainnya bahkan termasuk pegawai negeri juga dilindungi, tetapi diberi nama dengan delik lain, bukan sebagai delik makar.

Pasal 207 hingga Pasal 204  melindungi pegawai negeri dalam pelaksaaan tugasnya apalah lagi simbol-simbol negara seperti bendera dan lambang negara sebagaimana diatur dalam Pasal 154a. Dalam pemahaman publik, semua kejahatan terhadap negara dipersamakan dengan makar. Walaupun penggunaan istilah tersebut kurang tepat, tetapi sebagai pemahaman praktis hal tersebut tidak dapat disalahkan.

Sebagai KUHP warisan kolonial Belanda yang merupakan negara yang berbeda bentuknya dengan negara Republik Indonesia, KUHP ternyata luput dari perlindungan terhadap ideologi negara yaitu Pancasila. Namun bukan berarti Pancasila sebagai ideologi tidak dilindungi oleh hukum pidana. 

Perlindungan terhadap Pancasila diatur secara khusus dalam Penpres Nomor 11 Tahun 1963 tentang Subversif yang pada masa Orde Baru diundangkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969. Pasal 1 angka 1 huruf a yaitu barangsiapa melakukan suatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara.

Undang-undang tersebut dianggap kontroversial dan UU sapu jagat yang dapat digunakan untuk mempidana lawan politik pemerintah, sehingga dengan UU No. 26 Tahun 1999 dinyatakan dicabut. 

Meski dicabut beberapa pasal khususnya ketentuan Pasal 1 tersebut diadopsi dalam UU No. 27 Tahun 1999 yang merupakan tambahan bagi KUHP dan dimasukkan sebagai Pasal 107 b yaitu: “Barangsiapa secara melawan hukum, di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun.

Melawan Hukum

Berbeda dengan UU Suversif yang memang sangat fleksibel, Pasal 107b justru sangat rigid dengan mencantumkan unsur melawan hukum dan unsur berakibat timbulnya kerusuhan serta timbulnya kerusuhan atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda. 

Dengan unsur tersebut, delik terhadap Pancasila bersifat sebagai delik materil yang menuntut timbulnya akibat tertentu untuk disebut sebagai delik yang selesai. Hal itu dapat dipahami karena para penyusun UU No. 27 Tahun 1999 dan juga parlemen pada masa itu baru saja mengalami trauma akibat digunakannya UU Subversif pada masa Orde Baru sehingga mereka bersikap sangat hati-hati dalam merumuskan kejahatan terhadap Pancasila.

Mengutip Adami Chazawi (2002: 180) perumus UU seakan-akan menyadari adanya kemungkinan mengganti Pancasila secara sah atau tidak melawan hukum. Sayangnya tidak ada penjelasan sedikitpun dalam Penjelasan UU itu tentang kemungkinan seperti itu. 

Menurut saya, unsur tersebut seharusnya tidak perlu ada, mengingat Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sudah bersifat final sehingga apapun perbuatan yang bermaksud mengganti Pancasila harus dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.

Pancasila adalah hasil kesepakatan pendiri bangsa ini, jika fondasinya dirubah, maka berubah pula lah negara. Setiap usaha merubah apalagi mengganti Pancasila seharusnya dipandang sebagai delik sempurna tanpa perlu dibuktikan adanya unsur melawan hukum dan juga tanpa perlu menimbulkan akibat terlebih dahulu.

Menjadi Delik Makar

Loading...

Jika perlu delik terhadp Pancasila seharusnya dijadikan sebagai delik makar dan ditempatkan pada Pasal pertama tentang kejahatan dalam KUHP. Rumusan delik makar dalam KUHP mestinya berisikan : (1)  makar terhadap Pancasila, (2) makar terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden, (3) makar terhadap wilayah, dan (4) makar terhadap pemerintah. 

Bagi kita bangsa Indonesia, Pancasila adalah dasar negara, iedologi negara dan kesepakatan para pendiri negara yang mengandung sejarah terbentuknya bangsa, karena itu Pancasila jauh lebih penting daripada Presiden karena Presiden dan pemerintahan bisa berganti, sedangkan Pancasila tidak mungkin dan tidak boleh berganti dalam keadaan apapun selain daripada bentuknya yang sudah final.

Dalam RUU KUHP, pengaturan delik terhadap Pancasila menjadi pasal yang ketiga (lebih dahulu daripada pasal makar dimana pasal makar menjadi Pasal keempat), namun tetap bukan tergolong sebagai delik makar. 

Pada Pasal 190 dinyatakan : (1) Setiap Orang yang menyatakan keinginannya di muka umum dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan: a. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau timbulnya kerugian Harta Kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; b. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan orang menderita Luka Berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun; atau c. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Meskipun tidak lagi mencantumkan unsur melawan hukum sebagaimana dalam UU No. 27 Tahun 1999, delik tersebut tetap merupakan delik materil karena harus telah menimbulkan akibat yaitu a. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau timbulnya kerugian Harta Kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; b. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan orang menderita Luka Berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun; atau c. terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang mengakibatkan matinya orang. 

Delik tersebut berbeda jauh dengan delik makar yang tidak mempersyaratkan akibat apa-apa, bahkan percobaan melakukan makar telah dianggap sebagai delik yang selesai. Itu lah sebabnya saya mengusulkan agar delik terhadap Pancasila menjadi delik makar sebagaimana delik makar terhadap Presiden, wilayah dan pemerintahan sehingga konstruksi deliknya menjadi sama mengingat bagi kita bangsa Indonesia, melindungi Pancasila adalah jauh lebih penting karena menyangkut dasar dan ideologi negara. Pancasila harus menjadi staatfundamentalnorm yang menjadi landasan ideal penyusunan Undang-undang Dasar  dan Undang-undang.

Ius Constituendum

Sayangnya, apa yang saya pikirkan di atas, sekedar sebuah pemikiran, jangankan termuat dalam ius constitutum (hukum yang berlaku), menjadi rancangan Undang-undang pun belum. Ia hanya menjadi ius constituendum yang ada dalam pemikiran seorang anak bangsa yang cinta akan bangsa dan tanah airnya.

Dengan demikian, hari ini, jika ada pihak-pihak yang berkeinginan mengganti Pancasila, gagasan tersebut belum dapat diterapkan. Penegakan hukum terhadap mereka yang dituding sebagai orang yang berkeinginan mengganti Pancasila harus lah sampai pada perbuatan delik yang sempurna yaitu jika dilakukan dengan cara melawan hukum dan menimbulkan akibat  timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda. 

Jika sebatas pembicaraan dan diskursus yang dipandang sebagai perbuatan yang sah dan tidak melawan hukum, maka adanya pembicaraan atau niat mengganti Pancasila belum dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana, meskipun kita semua bangsa Indonesia sangat membenci perbuatan itu.

 

Oleh: Dr Erdianto Effendi; Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau