Salah Resep Pemulihan BPJS

Salah Resep Pemulihan BPJS

15 Mei 2020
BPJS naik/net

BPJS naik/net

RIAU1.COM -KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo menaikkan kembali iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkesan tak menghormati putusan Mahkamah Agung. Belum genap tiga bulan lembaga peradilan tertinggi itu membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS. Kini, Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, dengan dalih untuk menyelamatkan keuangan lembaga tersebut.

Bila Presiden benar-benar melaksanakan putusan MA, keputusan menaikkan iuran semestinya tidak terjadi. Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim agung yang menangani uji materi Peraturan Presiden No. 75/2019 dengan jelas menyatakan defisit BPJS terjadi di antaranya karena kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan kesehatan tersebut. Menurut majelis, defisit seperti itu tak boleh dibebankan kepada masyarakat.

Sejak beroperasi pada Januari 2014, BPJS Kesehatan memang terus dirundung kekurangan dana. Defisit keuangan mereka terus membengkak. Tahun ini, kas mereka terancam tekor hingga Rp 22,4 triliun. Tanpa pembenahan menyeluruh, BPJS Kesehatan bakal makin terpuruk.

Peraturan Presiden No. 64/2020, yang mengatur ketentuan kenaikan untuk peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, juga mengidap masalah secara hukum. Aturan ini misalnya menyebutkan, untuk Januari hingga Maret, besaran iuran BPJS mengikuti Peraturan Presiden No. 75/2019. Padahal peraturan lama itu sudah dianulir Mahkamah Agung.

Peraturan presiden terbaru juga tidak memberi kepastian hukum. Aturan tersebut, misalnya, menyebutkan untuk periode April-Mei 2020, iuran jaminan kesehatan mengikuti amanat putusan MA alias tidak mengalami kenaikan. Tapi selanjutnya, mulai Juli 2020, besaran iuran naik untuk setiap kelas. Peraturan presiden ini malah seperti mempermainkan putusan Mahkamah.

Defisit BPJS Kesehatan yang terus menggunung berawal dari kekeliruan konsep jaminan kesehatan nasional. Sejak program ini diluncurkan pada 2014, untuk kepentingan politik, pemerintah dan para politikus menjelaskan kepada masyarakat bahwa skema jaminan kesehatan ini seolah-olah merupakan fasilitas dari negara. Muncullah anggapan umum bahwa BPJS Kesehatan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan perawatan semua warga Indonesia, tanpa kecuali. Padahal sistem BPJS Kesehatan pada dasarnya merupakan skema asuransi. Selain berhak mendapat jaminan pembiayaan, peserta punya kewajiban membayar premi sesuai dengan kaidah asuransi.

Keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta tak menyelesaikan masalah utama BPJS. Menaikkan iuran BPJS di tengah krisis ekonomi yang mencekik, di tengah pandemi Covid-19 saat ini, malah menunjukkan pemerintah kurang memiliki kepekaan sosial. Lagi pula, selama nilai iuran dan pertanggungannya tak menggunakan perhitungan asuransi, sampai kapan pun BPJS tidak akan sanggup menutup seluruh biaya pembayaran dokter, obat, dan pelayanan rumah sakit.

Kalau memang mau menjadikan BPJS sebagai jaminan kesehatan nasional, pemerintah harus konsisten: sediakan uang sebanyak-banyaknya untuk menambal seluruh defisit BPJS. Sebaliknya, kalau hendak menjadikan BPJS sebagai skema asuransi, pemerintah tak usah berpura-pura lagi mau menjamin kesehatan semua warga. (Tempo)