Komisi Antikorupsi, Wassalam

Komisi Antikorupsi, Wassalam

31 Maret 2020
Petugas penyemprotkan disinfektan di gedung KPK/Tempo

Petugas penyemprotkan disinfektan di gedung KPK/Tempo

RIAU1.COM -HAMPIR tujuh belas tahun berdiri, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kini berada di titik terendahnya. Undang-undang hasil revisi, akhir tahun lalu, telah mempereteli kekuatan lembaga itu. Kualitas buruk komisioner periode 2019-2023 pun memperlemah kinerja komisi yang sebelumnya selalu mendapat kepercayaan tinggi dari publik tersebut.

Revisi Undang-Undang KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019 dan periode pertama pemerintahan Joko Widodo membuat penyidikan perkara korupsi begitu rumit dan birokratis. Pada saat yang sama, Jokowi mengajukan calon-calon kompromistis yang menghasilkan kepemimpinan Firli Bahuri di komisi antikorupsi.

Sejak dilantik pada 20 Desember 2019, Firli Bahuri dan empat wakil ketuanya menciptakan “tradisi baru”. Ia mendatangi lembaga-lembaga lain dengan dalih “pencegahan”. Ia mementingkan seremoni, termasuk pertunjukan memasak di depan para jurnalis. Kepemimpinan periode ini melupakan bagian terpenting dari pencegahan korupsi: penindakan yang bisa menimbulkan efek jera.

Boleh dikatakan tidak ada kasus baru yang ditangani KPK pada periode ini. Sampai muncul olok-olok: Firli betul-betul hebat, dalam tiga bulan kepemimpinannya, koruptor bisa dihilangkan. Buktinya, tak ada lagi koruptor yang ditangkap. Sebuah sindiran yang sangat punya alasan.

Memang, di awal periode mereka, KPK menangkap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang diduga menerima suap dari politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku. Tapi penangkapan ini merupakan kelanjutan dari kepemimpinan sebelumnya. Kelanjutan perkara ini pun masih belum jelas karena KPK belum bisa menangkap Harun. Lembaga itu juga tak serius mengejar mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, yang telah dinyatakan sebagai tersangka perkara gratifikasi Rp 46 miliar.

Pemimpin baru KPK kini juga sibuk dengan urusan internal. Firli dan kawan-kawan terkesan menyingkirkan beberapa personel yang dianggap tak sejalan. Mereka dikembalikan ke institusi asal, yakni Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. Di masa lalu, komisioner justru berusaha mempertahankan personel terbaik yang hendak ditarik institusinya.

Kewenangan penerbitan surat untuk penyelidik yang akan bergerak di lapangan juga jadi persoalan. Pada periode sebelumnya, surat penyelidikan cukup ditandatangani satu atau dua orang pemimpin KPK. Kini semua diharuskan melibatkan Firli. Kelincahan penyelidik yang menjadi keunggulan mereka di masa lalu telah berakhir.

Pemimpin KPK tidak memiliki visi pencegahan korupsi yang jelas. Program pencegahan korupsi yang berjalan di KPK saat ini tak lebih merupakan kelanjutan periode sebelumnya. Belum ada gebrakan baru dari Firli dan pimpinan KPK lain dalam pencegahan korupsi yang kerap mereka dengungkan.

Dalam tiga bulan ini, menurut survei, kepercayaan publik terhadap KPK anjlok. Hasil sigi Indo Barometer menunjukkan tingkat kepercayaan turun ke posisi keempat. Dalam survei Cyrus Network pada akhir Januari lalu yang diumumkan Maret ini, peringkat KPK sebagai lembaga yang dipercaya publik bahkan berada di bawah Kepolisian-hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Dengan situasi seperti ini, kita sudah bisa mengucapkan selamat tinggal pemberantasan korupsi. Rezim Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat bertanggung jawab atas pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi ini.

Sumber : Tempo