Momentum Membenahi Mahkamah

Momentum Membenahi Mahkamah

24 Maret 2020
Mantan Sekretaris MA yang terjerat korupsi/Tempo.co

Mantan Sekretaris MA yang terjerat korupsi/Tempo.co

RIAU1.COM -PERGANTIAN Ketua Mahkamah Agung pada awal April nanti menjadi momentum krusial bagi Mahkamah untuk melakukan reformasi internal dan membersihkan lembaga itu dari korupsi. Sederet kasus rasuah yang melibatkan hakim dan pejabat di lembaga peradilan itu membuat kepercayaan publik kepada Mahkamah merosot. Mahkamah seharusnya menjadi tempat terakhir bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan, bukan tempat para penjahat mempermainkan hukum.

Publik menyoroti kinerja Mahkamah Agung karena sejumlah kasus korupsi yang menyeret hakim dan pejabat di lembaga itu. Indonesia Corruption Watch mencatat, di era kepemimpinan Muhammad Hatta Ali (2012-2018), terdapat sebelas hakim yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu belum termasuk kasus yang melibatkan pejabat Mahkamah, seperti kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung,Nurhadi. Ia terseret masalah pengaturan perkara di Mahkamah pada 2016 dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Wibawa Mahkamah Agung merosot di mata publik juga akibat sejumlah putusan kontroversial lembaga peradilan. Tahun lalu, setidaknya ada dua putusan bermasalah menyangkut kasus besar yang menjadi perhatian publik. Pertama, vonis bebas terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Syafruddin Arsyad Temenggung, di tingkat kasasi. Kedua, vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1, Sofyan Basir, pada pengadilan tingkat pertama.

Lembaga peradilan tampaknya belum berpihak pada pemberantasan korupsi. Selain putusan Mahkamah yang mengundang curiga, masih banyak vonis ringan bagi terdakwa korupsi. Pada 2018, misalnya, menurut data ICW, rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara. Adapun sepanjang 2017-2018, Mahkamah setidaknya telah membebaskan 101 narapidana korupsi melalui upaya hukum peninjauan kembali.

Itulah sederet pekerjaan rumah pengganti Hatta Ali, yang akan pensiun pada 7 April nanti. Selain memberantas korupsi di lembaga peradilan, Ketua Mahkamah Agung berikutnya mesti membereskan tumpukan kasus, mempersingkat waktu penyelesaian perkara, memperbaiki rekrutmen hakim, dan mendorong keterbukaan informasi di lembaga peradilan.

Untuk membereskan semua itu, Mahkamah Agung tidak hanya membutuhkan sosok yang berintegritas, tapi juga yang cakap dalam mengelola urusan internal lembaga. Celakanya, pemilihan ketua dilakukan di antara para hakim agung. Untuk mempertahankan independensi, mekanisme ini bagus-bagus saja. Tapi, tanpa partisipasi dan pengawasan publik, seleksi tertutup itu rawan kongkalikong. Agar terbuka, Mahkamah sebaiknyamelibatkan publik dengan membentuk panitia seleksi. Tentu saja mula-mula dengan memperbaiki aturan tentang seleksi Ketua Mahkamah Agung. Mahkamah hendaknya juga melibatkan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Mahkamah Agung saat ini cenderung bergerak tanpa pengawasan setelah kewenangan Komisi Yudisial untuk memonitor hakim agung dipangkas Mahkamah Konstitusi pada 2006. Para akademikus dan pemangku kepentingan hendaknya memikirkan cara agar kontrol terhadap Mahkamah Agung dapat kembali ditegakkan.


Sumber:Tempo