Sudah Lima Kali Perang Puputan Terjadi di Bali, Nomor 5 Paling Dikenang

Sudah Lima Kali Perang Puputan Terjadi di Bali, Nomor 5 Paling Dikenang

20 September 2020
Ilustrasi Perang Puputan (Foto: Istimewa/internet)

Ilustrasi Perang Puputan (Foto: Istimewa/internet)

RIAU1.COM - Rakyat Indonesia amat mengenal Perang Puputan di Bali. Perang yang baru usai sampai titik darah penghabisan. 

Sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, Perang Puputan sudah terjadi sebanyak lima kali dimulai pada 1846 dan berakhir pada tahun 1946.

Berikut peristiwa puputan yang dirangkum dari beritabali.com, Minggu, 20 September 2020.

1. Puputan Jagaraga

Perang ini terjadi tahun 1846 dilakukan oleh Anak Agung Jelantik penguasa daerah Den Bukit. Dia memutuskan untuk melakukan perang puputan. 

Aksi heroik ini dipicu oleh politik Tawan Karang yang diberlakukan Kerajaan Den Bukit yang tidak diterima oleh Belanda. Lalu mereka mencoba masuk ke wilayah Den Bukit. 

Karena dipersenjatai peralatan perang modern termasuk kapal laut, kapal udara, mobil perang beserta senapan-senapan apinya, Belanda secara membabi buta menyerang wilayah Den Bukit mulai dari pesisir Buleleng sampai ke kota kerajaan di desa Jagaraga. 

Tingkah bejat ini membuat Raja Den Bukit mengumumkan kepada rakyat, pasukan perang dan kerabat istana untuk menghadapi Belanda sampai titik darah penghabisan meskipun Den Bukit akhirnya jatuh ke tangan Kolonial Belanda.

2. Puputan Kusamba

Memasuki tahun 1849, Belanda berusaha menduduki wilayah Bali Timur. Mereka ingin menguasai wilayah Kerajaan Klungkung yang merupakan kerajaan tertinggi di Bali saat itu.

Namun rencana ini tercium oleh rakyat desa Kusamba yang merupakan benteng kekuatan Kerajaan Klungkung. 

Rakyat Kusamba yang didukung penuh oleh atasannya menyatakan bakal menghadapi Belanda secara perang puputan.

Beruntung, perang dimenangkan oleh rakyat Kusamba. Pimpinan Belanda Let. Jen. Michiels terbunuh di medan perang. Membuat Belanda pada saat itu begitu malu. 

3. Puputan Badung

Setelah hampir setengah abat tidak terdengar adanya perang puputan di Bali, tiba-tiba pada tanggal 20 September 1906, tiga kerajaan yakni Puri Kesiman, Puri Denpasar dan Puri Pemecutan mengumumkan perang puputan melawan kolonial Belanda yang berkedudukan di Batavia. 

Perang ini dipicu oleh taktik licik pihak kolonial Belanda yang menuduh rakyat Sanur mencuri barang-barang milik saudagar Cina yang diangkut oleh kapal Sri Komala berbendera Belanda yang terdampar di pantai Sanur pada tahun 1904. 

Loading...

Kwee Tek Tjiang, pemilik barang telah membuat laporan palsu kepada utusan raja dan menyatakan rakyat telah mencuri 3.700 ringgit uang perak serta 2.300 uang kepeng. 

Laporan tanpa bukti itu tentu saja tidak dipercaya oleh utusan raja. Karena utusan raja tidak mempercayai laporan palsu tersebut, pihak kolonial Belanda mengeluarkan ultimatun yakni mendenda Raja Badung, I Gusti Ngurah Denpasar sebesar 3.000 ringgit atau setara dengan 7.500 gulden.

Jika Raja Badung tidak mau membayar denda sampai batas tanggal yang ditentukan pada 9 Januari 1905, maka wilayah Badung akan diserang secara militer oleh pihak kolonial Belanda. 

Karena rakyat Badung tidak bersalah, maka tantangan tersebut diladeni dengan perlawanan dengan pecahnya Puputan Badung. Di akhir pertikaian, Belanda berhasil menguasai Badung.

Korban gugur di pihak rakyat mencapai 7 ribu orang, termasuk para raja dan kerabat istana serta para pahlawan dari ketiga puri, Kesiman, Denpasar dan Pemecutan.

4. Puputan Klungkung

Dua tahun setelah Puputan Badung, tanggal 28 April 1908 kembali terjadi perang puputan melawan kolonial Belanda. 

Perang ini juga disebut-sebut sebagai penanda jatuhnya seluruh wilayah Bali ke tangan Belanda.

Di pihak Klungkung dipimpin oleh Raja Klungkung Ida I Dewa Agung Jambe, yang sekaligus gugur dalam peperangan.

5. Puputan Margarana

Perang Puputan terakhir terjadi di masa perang kemerdekaan di wilayah Kabupaten Tabanan Desa Marga, Kecamatan Marga pada 20 September 1946.

Puputan terakhir ini ditandai dengan situs candi yang dikenal dengan Candi Margarana. Marga adalah tempat kejadiannya, sedangkan rana berarti perang atau pertempuran.

Pertikaian terjadi antara pasukan Ciung Wanara dibawah pimpinan Let. Kol. I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan NICA diatas kebun jagung di Banjar Kelaci.

aksi heroik ini membuat I Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya gugur dalam membela tanah air.