Merambah Hutan Desa Sungai Tohor

Merambah Hutan Desa Sungai Tohor

7 Desember 2020
Aksi pembalakan liar di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau (Foto: Azhar Saputra/Riau1.com)

Aksi pembalakan liar di Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau (Foto: Azhar Saputra/Riau1.com)

Sebelum mendapatkan hak pengelolaan hutan pada 2017, aksi pembalakan liar di atas lahan gambut Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau sudah terjadi. Aktor utama yang belum pernah tersentuh hukum memanfaatkan keberadaan masyarakat agar bersedia menebang hutan dengan upah murah.

RIAU1.COM - Suara khas gergaji mesin terdengar samar tapi bersahutan. Satu terdengar dari arah depan saya berdiri, tepat di jalan penghubung Desa Sungai Tohor dengan Selat Panjang jalur darat. Suara lain terdengar dari arah belakang. Terdengar beriringan. Menurut Wahyu (nama samaran), sekarang adalah waktu yang tepat untuk membalak kayu di hutan desa. Selain lokasi yang jauh dari permukiman, ketiadaan jaringan sinyal telepon genggam akan membuat kerja menebang kayu liar cukup aman. Wahyu adalah penebang pohon hutan asal Desa Sungai Tohor.

Hutan desa yang disebut Wahyu berada di area gambut. Saban hari, warga Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau memang berkegiatan di lahan gambut. Laporan Badan Restorasi Gambut (BRG) mengenai Pemetaan Sosial Desa Sungai Tohor pada 2017 menyebutkan, kawasan gambut yang tercakup dalam Hutan Desa lebih dari seratus senti meter.

Area hutan gambut terdiri dari lapisan bawah dan kemik di bagian atas. Sementara tanahnya juga memiliki konsistensi dengan tanah lekat, porositas tanah sedang dengan reaksi tanah tergolong masam atau memiliki pH antara 3,1-4,0. Laporan Pemetaan Sosial Desa Sungai Tohor Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti tahun 2017, Badan Restorasi Gambut, Johanes Hutagaol, Erizal, Al Kamari.

Tapi sayang, Hutan Desa milik warga Melayu itu kini jadi sasaran para pembalak liar.

Di kawasan Hutan Desa, waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Kegiatan pembalakan liar di wilayah itu pun tak terelakkan. Sama seperti yang disampaikan Kepala Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, Efendi ketika ditemui pada Minggu malam, 6 September 2020 di bawah pohon jambu air, depan halaman rumahnya.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi dengan sepeda motor, tumpukan kayu olahan setengah jadi tergeletak di bahu kanan dan kiri jalan. Hampir setiap satu kilometer perjalanan. Wahyu menjelaskan semua kayu olahan ditebang dari hutan produksi desa. Di hutan desa itu, tambah Wahyu, padat ditumbuhi tanaman keras seperti Mahang, Meranti, Kulim hingga Jelutung. Setelah ditebang, kayu dengan usia beragam diolah sesuai permintaan.

Dari sana kayu dilansir menuju anak sungai. Kayu olahan kemudian dibawa dengan diapungkan di atas air menuju kanal-kanal luas dengan lebar empat sampai tujuh meter lalu ditarik menggunakan sampan bermesin tempel menuju lautan.

Sebelum dibawa, mereka biasa menunggu kanal terisi penuh. Pernah juga saat air laut sedang pasang atau bulan purnama tiba. Saat kanal penuh air, di hilir sungai yang berbatasan dengan laut, tampak kapal-kapal berbaris rapi, antre untuk mengangkut kayu jarahan. Kayu hutan asal Meranti pun dibawa ke Tanjung Balai Karimun hingga Kepulauan Riau, Batam, menyusuri perairan yang ada di Desa Tanjung Samak.

Beberapa penebang lain juga ada yang membawa kayu jarahan lewat jalur darat. Misalnya dengan sepeda motor dan gerobak. Nanti kayu-kayu tersebut diletakkan di satu titik ke bahu jalan lalu. Tugas mereka pun selesai.

Menurutnya, kayu dalam bentuk balok-balok itu menunggu penjemputan untuk dijual Rp700 ribu-Rp1.600.000/ton tergantung jenis dan ukuran. Tapi uang sebesar itu bukan miliknya. Dia hanya seorang pekerja yang diupah sebesar Rp150 ribu per hari. Uang yang sedikit itu sudah termasuk biaya operasional, makan dan keperluan lainnya. Tak hanya itu, dengan uang cekak itu, para penebang wajib bekerja ekstra untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 3-4 hari atau 4-5 kali aksi pembalakan liar dalam sebulan.

"Perkiraan saya (pembalakan liar) sudah lama kalau dilihat dari jumlah tebangannya. Tapi semenjak pandemi COVID-19 banyak yang berkurang. Biasanya ada 5 - 6 orang. Ada yang memilih berkelompok atau sendiri-sendiri. Entah kenapa, saya pun tak tahu," terangnya pada September 2020.

Wahyu sebenarnya khawatir menggeluti pekerjaannya. Apalagi pada Februari silam, dia mengetahui persis Polres Kepulauan Meranti pernah menyatroni aksi serupa di lokasi yang berbeda, jauh dari lokasi saat kami bertemu. Tepatnya berada di Jalan Parit Kekat tak jauh dari sekat kanal yang dibuat khusus secara permanen oleh warga Desa Sungai Tohor setelah Presiden RI Joko Widodo berkunjung ke lokasi pada 2014 silam.

Kasat Reskrim Polres Kepulauan Meranti AKP Ario Damar mengatakan, polisi saat itu mengamankan 211 kayu balok dalam keadaan sudah dirakit dan berasal dari kawasan hutan produksi desa. Tapi saat itu, polisi mengklaim belum mengetahui siapa otak dibalik aksi pembalakan liar tersebut hingga saat ini.

Ditemui di lokasi berbeda ada Yanto (nama samaran), salah satu warga Desa Sungai Tohor sekaligus mantan pelaku yang pernah bekerja membabat hutan dengan cara berpindah lokasi selama 10 tahun. Menurutnya, aksi menjarah hutan di desanya itu sudah berlangsung sejak lama.

"Aku saja sudah 10 tahun bekerja (illegal logging). Perkiraan 20 tahun sudah ada. Untuk jumlahnya 30 ton per hari. Bisa dilihat sepanjang jalan ini kan,” imbuhnya.

Serupa dengan Wahyu. Dia juga hanya seorang pekerja yang dibayar harian. Tugasnya menebang, mengolah kayu dengan ukuran beragam lalu mengantarkannya ke tepian jalan. Kelanjutan kisah kayu jarahannya tersebut diakuinya juga tidak jelas. Dia juga tak mengenal siapa orang yang memperkerjakan dirinya. "Kebanyakan dibawa ke luar pulau dan terputus-putus. Kita cuma di jalan, lalu angkut ke jalan," imbuhnya kembali.

Upah dari hasil menebang hutan menurutnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur bersama anak dan satu istrinya. Sementara untuk kebutuhan sandang dan lainnya didapatkannya dengan cara menanam pinang hingga rumbia, tanaman penghasil sagu.

Artinya, aksi pembalakan liar ternyata tak dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup yang sudah dilakoni selama 10 tahun. Seiring bertambahnya usia, dia memutuskan mengurangi kegiatan merusak hutan. Dia juga mengaku selama dua bulan terakhir sudah jarang menerima berbagai macam pesanan kayu.

Sejak dua tahun lalu, dia coba membalik 180 derajat kehidupannya. Saat itu dia memberanikan diri menanam bibit berbagai macam pohon-pohon keras seperti Meranti, Pulai, Beringin, Silumar hingga Punak dengan tujuan untuk menghijaukan kembali hutan desa.

Berbagai pohon endemik tadi ditanam di atas tanah seluas tiga hektare miliknya. Ke depan dia masih berencana memperluas areal tanam menjadi lima hektare. Dibantu beberapa komunitas pemerhati lingkungan, dia menerapkan sistem adopsi pohon. Setiap orang membayar Rp25 ribu untuk satu bibit dengan jaminan perawatan hingga dua tahun.

Hingga saat ini, telah lebih seribuan orang yang bersedia membantunya untuk melestarikan lingkungan. Menurutnya, ide gila ini muncul setelah jenuh bekerja selama 10 tahun sebagai pelaku pembalakan liar.

"Aku sadarnya itu ketika melihat bibit meranti berbuah ketika berada di lokasi. Selama 10 tahun di hutan, tidak pernah melihat bibit meranti. Aku pikir kapan lagi bisa ketemu, nggak tahu. Aku ambil 10 bibit lalu dimasukkan ke polybag. Sampai 100 pohon ternyata hidup, dari situ aku tersentak dan sempat termenung," pikirnya.

Sejak saat itu, dia pelan-pelan mengurangi aksi pembalakan liar. Bahkan, menargetkan di tahun 2021 berhenti total merusak hutan. Agar dapur terus berasap, dia mengakalinya dengan bekerja sebagai buruh bangunan, dan memanfaatkan hasil dari tanaman karet.

Ke depan, dia mengaku memiliki pemasukan tambahan seperti membuat kolam ikan hingga pembibitan pinang, "Kesadaran menjaga alam itu baru muncul saat menanam. Intinya setelah menanam baru muncul rasa sayang itu," jelasnya.

Tidak Bisa Berbuat Banyak

Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Sungai Tohor, Zamhur mengaku dibuat pusing ketika disodorkan pertanyaan seputar pembalakan liar. Dia mengaku telah melakukan berbagai macam cara agar kayu-kayu hutan desa tidak dibawa lari ke luar Sungai Tohor.

"Untuk pembalakan liar saya pusing karena itu bukan sekarang saja. Tapi sudah lama. Itu karena kami hanya berstatus ketua pengelola hutan desa, lembaga sekaligus masyarakat biasa. Kita sudah pernah lakukan upaya ke Gakkum KLHK, melaporkan ke Polda Riau dan memang setelah itu sepi. Tapi habis itu ramai lagi, seperti menghalau anak ayam," ungkapnya.

Sayang, dampak kerusakan yang ditimbulkan aksi pembalakan kayu tak bisa digali dari kepala LPHD ini. Dia hanya mengatakan Hutan Desa tak bisa dikelola setelah diserahkan kepada masyarakat pada 2017 lalu.

Sementara menurut Kepala Desa Sungai Tohor, Efendi, pembalakan liar terjadi karena masyarakat memang membutuhkannya. Sementara pemerintah dianggapnya abai setelah menyerahkan pengelolaan Hutan Desa ke warga.

Saat penyerahan, mereka mendapatkan 2.940 hektare hutan desa terbagi menjadi blok perlindungan 1.354 hektare, blok pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 1.025 hektare dan blok pemberdayaan sebesar 561 hektare.

Pengelolaan ini merupakan keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah mencabut izin Hutan Tanaman Industri (HTI) akasia milik PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM) pada 23 Desember 2016 lantaran terbukti sebagai biang karhutla dan kerusakan hutan. Ditambah 1.534 hektare lahan belukar yang dianggap belum dimanfaatkan dari total 9.500 hektare luasan desa, hasil dari Laporan Pemetaan Sosial Desa Sungai Tohor Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Meranti tahun 2017, Badan Restorasi Gambut oleh Johanes Hutagaol, Erizal, Al Kamari.

"Ilog ya?, masyarakat butuh, kita mau bilang apa. Tapi pemerintah juga tutup mata kok. Itu (kayu) dibawa ke Batam dalam skala besar. Capek saya karena dihadapkan dua sisi. Pekerjaan itu dilarang, tapi dibutuhkan masyarakat. Mereka bukan cari kaya, hanya untuk makan. Saya tahu karena mengenal warga saya. Saya tegaskan masyarakat mau makan, bukan cari kaya," jelasnya.

Perpanjangan tangan Pemerintah Provinsi Riau melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tebing Tinggi mengaku tidak kaget dengan cerita kerusakan Hutan Desa Sungai Tohor, saat bertemu di Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, tempo itu.

Itu lantaran aksi pembalakan liar telah tercium jauh-jauh hari sebelum Sungai Tohor di bawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten lalu berpindah ke provinsi. Atau pembalakan liar telah terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghilangkan beberapa kewenangan di tingkat kabupaten maupun kota, termasuk urusan kehutanan yang menjadi kewenangan pusat dan provinsi.

Aksi terkesan dibiarkan itu menurutnya terjadi karena keterbatasan personil (30 petugas mengawasi 195 ribu hektare) dan minimnya anggaran (hanya memiliki anggaran karhutla Rp200 juta/tahun). Membuat mereka hanya bisa mendahulukan program-program prioritas.

"Program prioritas kami itu seperti mengumpulkan data, melakukan inventarisasi potensi, dan masalah yang ada. Hingga saat ini sudah 70 persen kami petakan baik potensi maupun yang rawan-rawan. Termasuk seperti yang di Sungai Tohor," terang Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KKPH) Tebing Tinggi, Sri Irianto.

Ke depannya, perlahan tapi pasti dia mengaku akan merangkul warga setelah program prioritas utama mereka selesai. Seperti mendatangi warga, mendata sekaligus meminta arahan ke pusat terkait kondisi terkini di desa.

Tak hanya KPH, Koordinator Pusat Studi Bencana Universitas Riau (PSB UNRI), Sigit Sutikno, juga menganggap aksi penjarahan tersebut lumrah terjadi. Sebab tambahnya, aksi serupa juga turut dialami wilayah lain yang berada di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kepulauan Tebing Tinggi. Bahkan menurut dia, jumlah kerusakan terhadap tutupan hutan jauh lebih besar dari apa yang terjadi di Sungai Tohor.

Berapa luas tutupan hutan yang hilang di kawasan Sungai Tohor? Sigit tak bisa merincinya. Apalagi, PSB UNRI tidak fokus mengamati satu tempat (Sungai Tohor) saja. Penyebab lainnya karena pihak lain juga telah banyak melakukan kegiatan di lokasi dilengkapi dengan anggaran yang mencukupi.

"Khusus di Tebing Tinggi (pembalakan liar) ada di beberapa tempat. Yang paling parah itu justru lokasinya di Tanjung Peranap. Masih berada di pulau yang sama," jelas Koordinator PSB UNRI Dr. Sigit Sutikno.

Dari peta interaktif Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut, platfom daring berbasis spasial (PRIMS Gambut) menunjukkan, KHG yang memiliki luasan 138.060 hektare itu selama enam bulan terakhir sebagian wilayahnya terindikasi kehilangan tutupan pohon khususnya gambut. Jumlahnya mencapai 2.848 titik di KHG dengan hunian 24 desa. Dimana 7 desa tersebut wilayahnya tidak lagi memiliki tutupan hutan.

Sementara menurut platform berbasis peta lain, yakni Global Forest Watch. Sejak 2001 hingga 2019, Kepulauan Meranti sudah kehilangan tutupan hutan seluas 121.000 hektare. Luasan itu setara dengan penurunan 35 persen tutupan hutan sejak 2000, dan setara dengan 47,4 Megaton emisi CO2.

Peta milik Global Forest Watch juga memperlihatkan kondisi di Kepulauan Meranti pada 2010. Pada tahun itu, wilayah ini masih memiliki hutan alam dengan capaian 64 persen. Sisanya, terdiri dari 220.000 hektare hutan alam, 103.000 hektare perkebunan dan 20.900 hektare non hutan.

Masih dengan sumber yang sama, Desa Sungai Tohor terindikasi kehilangan tutupan pohon seluas 228.000 hektare (2001 - 2019), setara dengan 17 persen penurunan tutupan pohon tahun 2000.

Pada 2017, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyerahkan izin pengelolaan hutan desa seluas 2.940 hektare kepada Warga Desa Sungai Tohor. Luasan itu terbagi lagi menjadi beberapa bagian seperti blok perlindungan seluas 1.354 hektare, blok pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 1.025 hektare dan blok pemberdayaan sebesar 561 hektare. Tak hanya itu, Sungai Tohor juga memiliki 1.534 hektare lahan yang dianggap belum dimanfaatkan dari total 9.500 hektare luasan desa.

Tapi sayang, hingga kini hutan desa itu tak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan kehadirannya berkaitan dengan aksi illegal logging. Rencana pengelolaan kawasan untuk usaha pembibitan, ternak lebah madu, kopi hingga sagu pun urung direalisasikan.