Pengamat Hukum Unri: Penggunaan UU ITE Tidak Lagi Masif Usai Kontestasi Pilpres Mengendur

Pengamat Hukum Unri: Penggunaan UU ITE Tidak Lagi Masif Usai Kontestasi Pilpres Mengendur

17 Agustus 2021
Dr Erdianto Effendi/Net

Dr Erdianto Effendi/Net

RIAU1.COM - Penegakan hukum kita tengah jadi sorotan. Banyak pihak yang menuding hukum digunakan untuk kepentingan politik dengan kata lain para politisi memanfaatkan hukum untuk kepentingannya. 

Seperti itu dikatakan pakar hukum pidana Universitas Riau (Unri) Dr Erdianto Effendi menilai keberadaan hukum dewasa ini di momentum hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 76, terutama penggunaan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sempat marak dua tahun yang lalu.

"Khusus penggunaan UU ITE, saya melihat setahun terakhir tidak terlalu massif, mungkin disebabkan tensi politik pasca pertarungan politik pasca PIlpres sudah mulai mengendur," katanya pada Riau24.com grup, Selasa 17 Agustus 2021.

Di Riau dan Kepulauan Riau, yang mana dia mengaku sering diminta keterangan sebagai ahli hukum pidana, untuk kasus-kasus delik dengan menggunakan ITE lebih didominasi soal pribadi, bukan lagi soal yang berkaitan dengan SARA. 

"Isu SARA sepertinya marak pada saat ada hajatan politik, khususnya tingkat nasional yang kadang juga jadi pertarungan ideologi," ujarnya.

Di tahun ini, sambung dia, keluar Surat Keputusan Bersama Menkominfo, Kapolri dan Jaksa Agung tentang Pedoman Pemberlakuan UU ITE yang sifatnya sangat positif memberi tafsir yang menyempit atas delik-delik yang ada dalam UU ITE. 

"Misalnya bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Juga tidak dapat dianggap delik jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan," paparnya.

Ini, menurut Dr Erdianto sangat tepat, karena pada prinsipnya kebebasan menyatakan pendapat dijamin konstitusi dan menjadi spirit kemerdekaan. Sementara untuk Pasal 28 ayat (1), fokus pada pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring, dan tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeur. 

"Merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu/kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan," paparnya.

Isu-isu yang yang jadi sorotan saat ini di dunia informasi, tambah dia adalah terkait covid 19 dan vaksin. Banyak berseliweran info-info yang tidak pasti kebenarannya.

"Sejauh ini sepengetahuan saya belum ada yang sampai ke proses hukum," demikian Dr Erdianto Effendi.