Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP, Berbahaya Bagi Demokrasi dan Wartawan

Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP, Berbahaya Bagi Demokrasi dan Wartawan

18 September 2019
Ilustrasi RKUHP.

Ilustrasi RKUHP.

RIAU1.COM - Pasal Penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP sedang disorot publik. Karena bisa mengancam demokrasi dan berbahaya bagi wartawan atau jurnalis dalam menjalankan tugasnya. 

DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan mengejar tenggat ketok palu pada Selasa, 24 September 2019.

Tapi koalisi masyarakat sipil yang mengatasnamakan diri Aliansi Nasional Reformasi RKUHP mencatat draf aturan itu masih memuat sejumlah permasalahan, salah satunya pasal penghinaan terhadap presiden.

Pasal tersebut dianggap berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi dan sebuah langkah mundur terhadap reformasi yang sudah diperjuangkan bertahun-tahun.

Dalam draf RKUHP, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 218 dan 219 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.


Pasal 218 mengatur bahwa setiap orang yang dianggap 'menyerang kehormatan' presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp150 juta.

Sementara Pasal 219 menyebut setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.

Pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari memprediksi kedua pasal itu berpotensi menjadi pasal karet.

 

Sebab tak ada kriteria jelas mengenai yang dimaksud dengan frasa 'menyerang kehormatan' tersebut.

"Sangat potensial menjadi pasal karet. Harusnya pasal-pasal yang menurut MK [Mahkamah Konstitusi] melanggar UUD 1945 tidak dapat lagi dihidupkan melalui undang-undang baru," jelas Feri ,seperti dilansir  CNN Indonesia.com, Rabu, 18 September 2019.

Feri merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam. Saat itu MK membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Hakim MK kala itu menilai pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Atas dasar itu Feri melihat, penghidupan kembali pasal ini hanya akan menimbulkan polemik. Sebab keberadaan aturan ini membuat presiden dan rakyatnya saling 'bertarung' satu sama lain dalam medium peradilan.

"Apalagi pasal penghinaan terhadap presiden itu delik aduan, pasal ini sangat mungkin membuat masyarakat dan presidennya sendiri berhadap-hadapan," sambung dia lagi.

Karena sudah diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 maka pengusulan kembali pasal itu sama saja dengan melawan konstitusi.

"Saya usulkan agar DPR tidak mencoba-coba memasukkannya ke undang-undang kembali," kata dia.


Azul mengingatkan, tingkatan nota kesepahaman Dewan Pers dan Kepolisian dalam tata hukum perundang-undangan berada jauh di bawah undang-undang. Itu sebab, DPR perlu memikirkan kembali pasal demi pasal dengan seksama.
Potensi Ancaman untuk Jurnalis

Tak cuma membahayakan bagi masyarakat, pasal penghinaan presiden itu juga mengancam jurnalis. Menurut Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli Pasal 218 dan 219 RKUHP ini juga menambah panjang daftar ancaman kriminalisasi terhadap jurnalis.

Kendati selama ini proses pidana bisa dicegah melalui nota kesepahaman antara lembaganya dengan kepolisian--penanganan perkara terkait dunia jurnalisme akan diurus Dewan Pers--. Namun bagaimanapun, potensi kriminalisasi lewat pasal tersebut menurutnya tetap sangat terbuka.

"Tapi ada juga mereka yang mempersoalkan dengan pencemaran nama baik, UU ITE. Nah sekarang dengan RKUHP, itu ditambah porsinya. Jadi rongrongan kepada media begitu besar," kata Azul--sapaan Arif Zulkifli kepada CNN Indonesia.com melalui sambungan telepon.


Untuk itu, Azul meminta anggota dewan bisa lebih cermat menimbang draf RKUHP sebelum disahkan. Itu sebab ia mengusulkan pembatalan atau setidaknya penundaan pengesahan agar setiap pasal bisa dirembuk secara detail dan matang.

Secara khusus ia menggarisbawahi perihal pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers. Menurutnya kebebasan itu didapat tidak dengan mudah. Tepat pada 21 tahun lalu, lewat UU Nomor 40 tahun 1999, para jurnalis baru bisa menikmati kebebasannya usai puluhan tahun 'dicengkeram' Orde Baru.

 

"Itu sudah kita akui sejak 21 tahun lalu, sejak reformasi, kemudian diwujudkan dengan UU Pers. Maka menurut saya tidak perlu ada langkah mundur karena itu akan bertentangan dengan keinginan publik soal keterbukaan dan transparansi melalui media massa."

Diketahui selain penghinaan terhadap presiden, dalam draf RKUHP terdapat juga pasal karet lainnya. Misalnya Pasal 240, 241, 353, dan 354 yang mengatur tentang jerat hukum bagi siapa saja yang dianggap menghina ideologi negara, pemerintah yang sah dan badan umum.

"Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat akan dipidana," bunyi Pasal 240. Orang yang melanggar diancam hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda Rp150 juta.

Melalui Pasal 353 dan 354, ancaman serupa juga 'mengintai' orang-orang yang dianggap menghina kekuasaan umum dan lembaga negara.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP merekomendasikan penghapusan pasal-pasal tersebut karena dianggap tak lagi relevan. Aturan itu menurut aliansi dibuat pada masa kolonial sehingga saat ini tak lagi diperlukan.

R1/Hee