Luhut : Investasi Cina di Indonesia Bukan Menjadi Perangkap Utang

Luhut : Investasi Cina di Indonesia Bukan Menjadi Perangkap Utang

9 Januari 2020
Luhut : Investasi Cina di Indonesia Bukan Menjadi Perangkap Utang

Luhut : Investasi Cina di Indonesia Bukan Menjadi Perangkap Utang

RIAU1.COM - Pemerintah menyambut baik investasi Cina ke Indonesia, meskipun ada kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Indonesia dapat jatuh ke dalam perangkap utang. "Jika Anda melihat jumlah investasi dari China, itu adalah hal biasa. Tetapi beberapa orang masih mengatakan hal itu adalah perangkap utang," kata Menteri Koordinator Kelautan dan Investasi Luhut Pandjaitan pada hari Rabu, 8 Januari 2020 di Forum Bisnis Cina.

Perangkap utang adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kesulitan membayar utang ke negara lain.

Beberapa ekonom telah memperingatkan pemerintah bahwa peningkatan investasi Cina, terutama yang dibiayai di bawah inisiatif raksasa Belt and Road (BRI), dapat menyebabkan negara tersebut jatuh ke dalam perangkap hutang.

"Kami tidak sebodoh itu, Anda tahu," kata Luhut di forum tersebut, yang diadakan di tengah pertikaian diplomatik antara Indonesia dan China mengenai zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Kepulauan Natuna.

Selama sepekan terakhir, Jakarta dan Beijing telah terlibat dalam tarik-menarik diplomatik atas klaim negara tersebut terhadap bagian-bagian ZEE Indonesia, setelah Badan Keamanan Maritim (Bakamla) melaporkan beberapa tuduhan bahwa penjaga pantai Tiongkok dan kapal penangkap ikan  beroperasi di sana secara ilegal.

Luhut mengatakan pemerintah telah menjaga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah batas 30 persen.

Rasio utang-terhadap-PDB Indonesia tercatat 29,8 persen pada akhir 2019, menurut Kementerian Keuangan seperti dikutip oleh kompas.com.

Pada 2019, total utang pemerintah mencapai Rp 4,77 kuadriliun, meningkat dari Rp 4,41 triliun pada 2018, menurut Kementerian Keuangan seperti dikutip oleh kompas.com. Hingga September, utang luar negeri Indonesia ke China mencapai US $ 17,7 miliar, menjadikannya negara kreditor terbesar keempat.

 "Kami memiliki beberapa perbedaan dengan perusahaan Cina di sana-sini. Tetapi pada akhirnya, kami dapat menemukan solusi."

 

 

 

R1/DEVI