Perburuan Harta Karun, Arkeolog Sebut Teluk Cengal Bekas Pelabuhan di Masa Sriwijaya

Perburuan Harta Karun, Arkeolog Sebut Teluk Cengal Bekas Pelabuhan di Masa Sriwijaya

11 Oktober 2019
Ratusan orang mencari harta karun peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Bekas Karhutla di Cengal,  OKI, Sumsel, Kamis.

Ratusan orang mencari harta karun peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Bekas Karhutla di Cengal, OKI, Sumsel, Kamis.

RIAU1.COM - Ratusan orang masih melakukan  perburuan harta karun di beberapa desa Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),  Sumatera Selatan. 

Hal itu mengundang para peneliti dan arkeolog untuk datang ke lokasi.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, para arkeolog menduga Teluk Cengal di pesisir Pantai Timur Sumatra merupakan daerah pelabuhan di masa Sriwijaya.

 

Seperti dilansir CNN Indonesia, Jumat, 11 Oktober 2019, Kepala Balai Arkeologi Sumatra Selatan Budi Wiyana mengatakan, tanda-tanda pusat kehidupan di perairan sungai kawasan tersebut yakni adanya 5-6 sungai kuno yang bermuara ke teluk cengal.

Di sekitar sungai kuno tersebut terdapat bekas pemukiman zaman dahulu, ditandai dengan penemuan tiang-tiang rumah berdiameter 30-40 sentimeter di kedalaman tanah 1,5 meter di pinggir sungai yang diperkirakan berasal dari abad ke-2 atau zaman pra-Sriwijaya.


Teluk Cengal pun sangat dekat dengan Pulau Maspari, yang diduga menjadi memiliki peran strategis dalam perekonomian zaman dahulu karena terdapat air tawar di sana.

Pada penelitian terakhir yang dilakukan Agustus 2019 di Desa Sungai Jeruju, Kecamatan Cengal yang tidak jauh dari lokasi perburuan harta karun, ditemukan papan, perahu, kemudi, gerabah, dan keramik yang merupakan kebudayaan Dinasti Tang pada abad ke-8.

Dinasti Tang diketahui merupakan salah satu kebudayaan luar yang ikut berinteraksi dengan Sriwijaya pada masa tersebut.

Perahu yang ditemukan pun bergaya Asia Tenggara yang budaya pembuatannya banyak terjadi pada abad 1-13.

"Persepsi selama ini, kawan-kawan wartawan menyebutnya harta karun Sriwijaya, padahal itu masih dipertanyakan, masih jadi kajian. Kita harus lihat konteksnya, harta-harta itu ditemukan di titik mana, pada kedalaman berapa, dan dating [penanggalan] juga penting. Harta karun itu memang kemungkinan berasal dari masa Sriwijaya dengan penemuan lain di sekitarnya yang sudah kita teliti. Tapi harus dipastikan lagi," jelas Budi, Rabu (9/10).

Setelah melakukan peninjauan ke lokasi perburuan harta karun di Desa Pelimbangan pada Selasa (8/10) lalu, pihaknya akan melakukan penelitian lebih lanjut yang baru bisa dilakukan pada 2020. 

Langkah permulaan agar pencarian harta karun tidak lagi marak pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab OKI untuk melindungi kawasan tersebut.

"Warga yang berburu harta karun itu mereka nyarinya hanya emas, manik-manik, yang bisa dijual saja. Kalau nemu keramik, gerabah, apalagi yang sudah pecah tidak utuh pasti dibuang. Padahal itu yang penting buat kita, bisa dicari tahu umurnya. Kalau temuan emas, logam itu tidak bisa diketahui umurnya. Kita juga sosialisasi kalau masyarakat menemukan keramik, guci, gerabah supaya dikumpulkan," kata dia.

Hingga saat ini, lokasi perburuan di Desa Pelimbangan belum ditetapkan sebagai lokasi penelitian atau bahkan sebagai cagar budaya.

Masyarakat dilarang dan akan melanggar UU Cagar Budaya apabila lokasi tersebut sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Namun selama lokasi tersebut belum ditetapkan, masyarakat masih bisa leluasa mencari harta karun dan pemerintah maupun aparat tidak akan bisa mencegah maupun melarang.

Loading...

"Bisa ditetapkan cagar budaya, tapi prosesnya panjang. Tapi kami sudah diminta untuk membuat resume, laporan mengenai lokasi dimana-mana saja yang sudah menjadi lokasi penelitian kami juga hasil survei adanya temuan. Nanti diberikan kepada Pemkab OKI. Pemkab nantinya yang akan sosialisasi dan menindaklanjuti melindungi lokasi tersebut agar tidak terus-terusan dijarah," ujar dia.

Budi pun berujar, banyaknya lokasi penemuan benda peninggalan yang berada di lahan yang dikuasai oleh perusahaan akan menghambat pelestarian cagar budaya.

Diketahui, lokasi kanal yang diserbu warga di Desa Pelimbangan merupakan lahan milik PT Samora Usaha Jaya.

Saat ini, lokasi yang menjadi pusat pencarian warga merupakan lahan yang belum ditanami karena pernah terbakar pada 2015 lalu dan perlu dilakukan restorasi terlebih dahulu.

Namun lokasi-lokasi lain yang disebut warga berpotensi ada harta karun lainnya sudah ditanami oleh tanaman kayu akasia sehingga perusahaan melarang kegiatan tersebut karena dapat merusak tanaman.

Penelitian yang bakal dilakukan kedepannya pun akan sulit apabila di lokasi yang sudah ditanami.

 


Pihaknya pun berharap Pemkab OKI bisa berkoordinasi dengan para perusahaan yang lahannya diduga mengandung situs cagar budaya untuk bisa bekerja sama dalam penelitian yang akan dilakukan oleh arkeolog.

"Langkah awal sosialiasi, mengurangi kegiatan penjarahan yang dilakukan masyarakat. Kalau langsung dilarang jadi potensi konflik. Diberi pemahaman, sosialisasi, karena terlalu lama melakukan pelimbangan dengan berendam di dalam air terlalu lama juga berdampak buruk bagi kesehatan. Yang paling simpel itu, karena ini merupakan sejarah bagi nenek moyang mereka juga," kata dia. 

R1 Hee.