JPU Tolak Pledoi Eks Kadishutbun Siak dan Direktur PT DSI, Alasanya...

JPU Tolak Pledoi Eks Kadishutbun Siak dan Direktur PT DSI, Alasanya...

9 Juli 2019
Sidang lanjutan dugaan pemalsuan SK Menhut di PN Siak ditunda (foto: rizal/riau1.com)

Sidang lanjutan dugaan pemalsuan SK Menhut di PN Siak ditunda (foto: rizal/riau1.com)

RIAU1.COM - JPU Kejari Siak akhirnya mementahkan pledoi Penasihat Hukum (PH) terdakwa kasus dugaan pemalsuan SK Kemenhut, yakni eks Kadishutbun Siak, Teten Effendi dan Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI), Suratno Konadi, Yusril Sabri dkk.

Ditolaknya pledoi terdakwa itu, disampaikan JPU Kejari Siak dalam sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan SK Kemenhut dalam agenda pembacaan replik di Pengadilan Negeri (PN) Siak, Selasa 9 Juli 2019. Bahkan, dalam sidang tentang Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) tersebut, JPU Kejari Siak menyatakan PH para terdakwa gagal paham menyoal pengertian pemalsuan surat.

Dalam repliknya, JPU memaparkan, alasan pledoi PH terdakwa harus ditolak dan diabaikan, karena menyangkut keberatan ahli Dr Mirza yang dihadirkan PH terdakwa sebagai ASN yang tidak mendapat izin dari atasan pada waktu menjadi ahli di PN Siak.

"Selain sebagai ASN, yang bersangkutan juga mengajar di UMSU Medan. Esensinya, yang penting sebagai ahli adalah mempunyai kompetensi sesuai keahlian, sesuai KUHAP yang dapat membantu hakim nantinya untuk membuat terang suatu perkara pidana," kata JPU Kejari Siak, Endah Purwaningsih di muka sidang.

Terkait pendapat PH terdawa menyebut ahli Dr Mirza bukan ahli TUN melainkan ahli hukum tata negara, JPU beragumentasi, meski secara akademik ada dibedakan antara hukum tata negara dengan hukum tata usaha negara, tetapi diantara keduanya ada kaitan yang sangat erat.

"Lagi pula saat ini di kehidupan modern sangat sulit membedakan antara HTN dengan HTUN. Hal ini selaras juga dengan pendapat ahli dari terdakwa yaitu Husnul Abadi dan Ferry Amsari yg berpendapat sama," tuturnya.

Sementara itu, dalil PH terdakwa berkenaan dengan asas presumtio ius causa, tentang asas dimana putusan masih tetap berlaku sampai dicabut. Menurut JPU, SK Pelepasan Kawasan Hutan nomor 17/Kpts.II/1998 telah mati dengan sendirinya, sesuai dengan diktum kesembilan dari SK Menhut tersebut. Putusan PK TUN nomor 198/2017 yang disebut JPU dalam tuntutan hanyalah melegimitasi kenyataan di mana SK pelepasan.

"Sebenarnya telah mati sejak 6 Januari 1999, jadi bukan sebagai tempat berpijak perkara ini, tetapi putusan ini yang memastikan bahwa SK pelepasan untuk PT DSI  memang telah mati. Kemudian digunakan untuk mengurus izin lokasi (Inlok) dan IUP pada 2006 dan 2009. Padahal kedua terdakwa telah tahu permohonan izin telah ditolak dua kali oleh bupati Siak Arwin pada 2003 dan 2004 lalu," paparnya.

JPU melanjutkan, ahli terdakwa Dr Muzakir dan ahli JPU Dr Mahmud Mulyadi sama-sama sepakat, soal batal atau tidak bukanlah lapangan hukum pidana, tetapi hukum administrasi negara. Kedua ahli itu menawarkan solusinya dengan melihat putusan dari pengadilan TUN yang terlihat dalam putusan PK nomor198/tun/2017.

Asumsi PH terdakwa yang menyebut tidak ada pemalsuan terhadap SK Pelepasan karena semua saksi menyebut surat itu asli, JPU berpendapat material memang tidak ada yang dipalsukan, tetapi SK Pelepasan itu digunakan seolah-olah masih hidup dan berlaku. Penggunaannya untuk memohon izin-izin lainnya.

Penggunaan surat yang telah mati itu yang disebut menggunakan surat palsu. "Hal ini dikuatkan oleh ahli Dr Mahmud Mulyadi yang menyebut pemalsuan atas dua hal yaitu pemalsuan material dan pemalsuan intelektual, yaitu isinya yang tidak sesuai dengan kebenaran," ujar JPU.

Demikian juga mengenai saat terjadi tidak pidana (tempus delicti), JPU menyatakan, selain hal ini harus dimuat dalam eksepsi oleh PH terdakwa (PH terdakwa tidak menggunakan haknya ketika itu), lagi pula hak menuntut belum gugur karena tindak pidana dalam perkara aquo terjadi pada 2006 dan 2009 ketika digunakan untuk mohon Inlok dan IUP.

"Kemudian kejadian pada 2012, saat izin digunakan untuk bukti dalam perkara perdata oleh PT DSI, sehingga temposnya sudah sesuai aturan dan tidak bertentangan dengan pasal 78 dan 79 dan hak menuntut tidak gugur," papar JPU.

"Dengan demikian pendapat ahli Husnu Abadi, putusan dianggap benar sampai dengan dicabut, tidak relevan lagi karena telah diuji oleh PK nomor 198/2017 sesuai diktum 9.  PT DSI tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan sehingga batal dengan sendirinya. Terkait presumtio ius causa PT DSI tidak mempunyai kepentingan lagi sejak 6 Januari 1999," sambungnya.

Selain itu, JPU juga mementahkan pendapat ahli dari PH terdakwa, Gunardo yang menyebut SK pelepasan masih tetap berlaku karena belum dicabut Menhut. Pendapat itu bertolak belakang dengan putusan PK nomor 198/2017 tersebut. "Lagi pula Apakah masih berlaku atau tidak suatu SK mentri, ahli Gunardo tidak berwenang menilai keputusan tersebut karena yang berwenang adalah pengadilan TUN," kata JPU lagi.

Mengenai tidak ada materi pembatalan dalam putusan PK 198 sebagaimana disebut dalam pledoi, JPU menyebut PH terdakwa mesti melihat halaman 53 putusan tersebut. Sebab  jelas ditegaskan pemohon tidak mempunyai kepentingan lagi. "Dasar hak PT DSI  SK pelepasan tidak berlaku lagi, jadi PH hanya melihat persoalan secata sepotong -sepotong dan  tidak komprehensif," sambung JPU Nelly.

Hal lain yang dimentahkan JPU, mengenai alasan tidak bisa mengurus HGU karena keadaan bahaya. Disebut JPU tidak tepat. Sebab, saat itu negara tetap berjalan. Kalau diterapkan alasan bahayanya bisa menunda kewajiban, maka contoh kecilnya saja berakibat banyak.

"PNS yang batal karena SK dalam bahaya tahun 1999 maka pendapat ahli terdakwa yaitu Ferry Amsari keliru. Selanjutnya pendapat PH yang bersandar pada PK nomor 158 tahun 2016 yang menyebut SK pelepasan masih berlaku, juga tidak tepat. Karena genus nyawa dari SK pelepasan kawasan nomkr 17/98 adalah tanah tata usaha negara yang harus diselesaikan oleh peradilan TUN," rincinya.

JPU juga menyebutkan, PK TUN adalah putusan terakhir yang lebih kemudian lahirnya dari PK perdata yang keluar 2016. Kata JPU, titik tumpu perkara ini adalah permohonan izin PT DSI telah 2 kali ditolak kemudian digunakan lagi untuk mohon Inlok dan IUP.

Penggunaan SK pelepasan yang tidak berlaku lagi untuk kepentingan Inlok dan IUP inilah yang disebut menggunakan surat palsu dalam perkara ini. Alasan keterlambatan karena masih bisa ditoleransi menurut ahli Gunardo, dasar SK 1998 adalah SKB 3 Menteri. Pasal 11 SKB BPN mengatakan selambat-lambatnya 45 hari sejak ada SK pelepasan harus telah terbit SK HGU.

"Ada batas waktu secara limitatif dalam SKB tersebut yang mengunci SK pelepasan kawasan telah tidak berlaku lagi. Alasan masih berlaku menurut Feri Amsari karena keadaan bahaya tidak tepat karena yang ada tahun 1998 hanya penggantian presiden, sedang urusan lain dari pemerintahan tetap normal," sebutnya.

JPU menyatakan, unsur-unsur sudah lengkap pada dakwaan Pasal 263 ayat 2 telah terbukti maka tetap dengan tuntutan 
2 tahun 6 bulan. JPU juga menyebut pledoi PH terdakwa tidak sesuai fakta persidangan.(R1)

 

Penulis: M Rizal Iqbal