Kredibilitas Pembantu Presiden Buruk Atasi Covid-19

Kredibilitas Pembantu Presiden Buruk Atasi Covid-19

8 Mei 2020
Jokowi dan kabinetnya/R24

Jokowi dan kabinetnya/R24

RIAU1.COM -Oleh: Syahrial Nasution
 MEWABAHNYA virus korona baru jenis Covid-19 yang terjadi di seantero jagad, memerlukan kekuatan solidaritas untuk menghadapinya. Dilakukan penuh kesadaran dan ketabahan. Kesadaran, karena musuh yang dihadapi tidak terlihat kasat mata. Harus tabah, karena dampak psikologis akibat ancaman yang ditimbulkan covid-19 amat berat.
 
Kesadaran dan ketabahan ini dirasa paling mengintimidasi masyarakat, setiap warga negara. Masyarakat diminta untuk sadar bahwa covid-19 ini memiliki daya rusak super dahsyat. Penyebaran dan penularannya sangat cepat dan mengancam jiwa di seluruh dunia. Memprihatinkannya lagi, hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan obatnya. Perekonomian dunia pun tidak lagi leluasa bergerak bahkan macet.

Ketabahan yang ditanggung masyarakat secara psikologis benar-benar penuh kepasrahan. Diawali gerakan cuci tangan pakai sabun, wajib menggunakan masker, hingga imbauan untuk hidup sehat dan rajin berjemur di pagi hari. Belum cukup sampai disitu. Bagi umat muslim Indonesia, momentum kehidupan sosial yang penuh nuansa religius di bulan suci Ramadhan dan Idul fitri, tahun ini terasa hambar. Sudah sejak awal April lalu, semua kegiatan di tempat ibadah ditutup untuk menghambat transmisi penularan.

Kampanye #DirumahAja atau #StayatHome, work from home atau kerja dari rumah, learn from home atau belajar dari rumah, karantina mandiri, social distancing atau jaga jarak soasial, dilanjutkan physical distancing atau jaga jarak fisik, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masih ada istilah lainnya menjadi kehidupan normal baru. Sungguh pengorbanan kesadaran dan ketabahan yang berat harus ditanggung rakyat.

Dampak Protokol Kesehatan bagi Masyarakat

Jauh sebelum Covid-19 menjangkau Indonesia, ketika wabah penyakit ini masih menghantui Tiongkok awal Januari hingga Februari lalu, suara-suara dari pemerhati kesehatan di tanah air sudah nyaring meminta segera dilakukan langkah-langkah antisipasi sesuai protokol kesehatan.

Kegelisahan supaya segera dilakukan kebijakan karantina wilayah, pemetaan sebaran, minimnya fasilitas kesehatan alat pelindung diri (APD), ventilator dan rapid test, ketersediaan laboratorium dan lain-lain. Hingga kesiapan sumber daya manusia bidang kesehatan yang tidak memadai untuk mengatasi pasien dan orang-orang yang terpapar Covid-19.

Di bidang ekonomi, yang paling terdampak dan menderita saat ini adalah pengusaha di sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), pelaku industri rumahan padat karya, pekerja sektor informal, transportasi, pariwisata, buruh, tani dan nelayan. Pendeknya, masyarakat yang arus kasnya terbatas paling lama bertahan di kisaran satu minggu hingga tiga bulan dengan mengandalkan pendapatan harian dan upah kontrak akan mengalami nasib yang sangat memprihatinkan apabila tidak segera ditolong.

Belum lagi, dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, mau tidak mau pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perumahan karyawan tidak bisa dihindari. Pasalnya, dunia usaha tidak bisa beroperasi. Saat ini ditaksir mencapai 6 juta orang (data resmi dari Kemenakertrans sekitar 2,3 juta orang). Sementara KADIN mengklaim lebih dari 30% dari 129 juta tenaga kerja telah menjadi korban PHK dan dirumahkan.

Mereka yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang asongan, tukang cukur, tukang pijat refleksi, pedagang sayur keliling, pelelangan ikan, dan seterusnya selain tidak bisa melanjutkan usaha, juga harus kehilangan pendapatan demi mematuhi protokol kesehatan. Tetap diam di rumah, menjaga diri tetap sehat, bertahan hidup dari tabungan yang tersisa dan tidak bisa mudik bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Inilah kondisi dimana kesadaran dan ketabahan benar-benar sedang diterapkan sekaligus diuji. Hanya, sampai kapan mampu bertahan?

Kabinet Gamang Diterpa Virus

Rontoknya perekonomian dan berkurangnya pendapatan negara di sektor pajak tahun ini yang ditaksir anjlok mencapai 40 persen, telah memaksa pemerintah melakukan penyesuaian, merealokasi sejumlah anggaran. Dialihkan fokus dalam rangka mengatasi covid-19. Berbagai kebijakan yang timbul terkait protokol kesehatan, berdampak cukup besar terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi seluruh dunia.

Namun, masyarakat yang sudah rela bersusah payah penuh kesadaran dan ketabahan menerima keadaan harus disuguhi atraksi-atraksi pemerintah dengan kebijakannya yang maju-mundur, berbeda-beda penafsiran, sinkronisasi kebijakan antara pusat-daerah yang amburadul, hingga melahirkan istilah-istilah kebijakan yang memunculkan olok-olok. Seperti, mudik dan pulang kampung.

Meski semua tudingan itu dibantah oleh menteri-menteri anak buah Presiden Joko Widodo, dikatakan bahwa pemerintah baik-baik saja. Tapi, yakinlah bahwa rakyat tengah menonton kegamangan di tubuh kabinet.

Maju Mundur Penerapan PSBB

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengkritik pemerintah dikatakan lamban dan tidak tegas dalam memitigasi wabah covid-19. Menurut JK, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan, tapi kota tetap ramai. Lantas, kebijakan mudik yang sempat simpang siur. Meski akhirnya Presiden Jokowi melarang dan menerapkan sanksi, tapi belakangan peluang terjadinya pelanggaran kembali terbuka setelah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kembali mengaktifkan transportasi publik yang sempat dibatasi.

Loading...

Kondisi ini juga dibumbui pergunjingan di tengah masyarakat mengenai istilah mudik dan pulang kampung yang menurut Jokowi berbeda, namun dibantah oleh Menhub. Lagi-lagi, saling koreksi atas kebijakan PSBB ini terus bergulir di pusaran kabinet dan istana kepresidenan. Hingga saat ini.

Penyaluran Bansos Amburadul

Pemerintah pusat menggelontorkan Paket Stimulus Rp 405,1 triliun awal April lalu untuk menghambat laju transmisi virus korona dan jaring pengaman sosial. Rinciannya, yang dialirkan untuk bidang kesehatan Rp 75 triliun.

Insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakayat (KUR) dialokasikan sebesar Rp 70,1 triliun. Sedangkan untuk perlindungan sosial nilainya juga masih sangat kecil yaitu Rp 110 triliun atau hanya sebesar 27 persen. Porsi paling banyak adalah program pemulihan ekonomi nasional yakni Rp 150 triliun atau 37 persen dari total Paket Stimulus.

Berharap dapat angin segar, masyarakat justru meradang gegara amburadulnya penyaluran bansos penopang hidup. Pemicunya, data penerima santunan berantakan antara pemerintah pusat dan catatan pemerintah daerah di lapangan.

Belum lagi, penyaluran yang tidak serempak memunculkan kerawanan akibat banyak ditemukan penerima yang tidak tepat sasaran. Hingga Jokowi turun langsung mengecek ke lapangan bahkan ikut membagi-bagikan sendiri bantuan presiden ke rumah-rumah warga di tengah malam. Oleh pendukung fanatiknya dicerminkan seperti Khalifah Umar Bin Khattab.

Fakta amburadulnya data masyarakat miskin dan mendadak miskin penerima santunan jadi soal, sejauh mana Paket Stimulus yang digelontorkan berjalan efektif dan tepat sasaran? Artinya, sinkronisasi di tingkat menteri dan kepala daerah tidak berjalan mulus. Dengan kata lain, negara sebetulnya tidak siap menghadapi kondisi-kondisi genting yang berdampak pada masyarakat luas.

Prediksi Menkeu dan Gubernur BI Meleset

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sepertinya tidak berkoordinasi dengan baik soal pertumbuhan ekonomi. BI optimis pada kuartal I-2020 pertumbuhan ekonomi masih bisa melaju di angka 4,3%. Sedangkan Sri Mulyani sesumbar bahwa meskipun terjadi perlambatan ekonomi akibat covid-19, angka pertumbuhan berada di level 4,5% - 4,7%.

Kenyataannya, Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi mengumumkan pada Selasa (5/5) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 2,97%, alias meleset jauh dari prediksi Gubernur BI dan Menkeu. Hal ini tentu sangat fatal. Prediksi yang tidak akurat dan jauh menyimpang dari pemimpin lembaga negara yang menggawangi moneter dan fiskal negeri ini tentu saja terkait dengan  kapasitas. Apakah negara ini akan baik-baik saja jika tatakelola lembaga pembuat kebijakan tidak berfungsi dengan baik?

Akan muncul banyak pertanyaan. Apakah kebijakan-kebijakan yang dijalankan dalam rangka memerangi wabah virus korona oleh Presiden Jokowi mendapat dukungan informasi dan data yang akurat dari para pembantunya? Jangan-jangan sesungguhnya kondisi ini di luar dugaan Jokowi. Bahwa para pembantu presiden berada dalam kapasitas yang buruk jika dihadapkan pada kondisi genting seperti adanya pandemi. Atau dengan kata lain, mereka hanya mampu berprestasi dikala situasi normal.

Lantas, apakah Jokowi sebagai presiden konstitusional melalui proses Pemilu pemilihan langsung akan membiarkan rakyatnya yang saat ini dituntut berkorban penuh kesadaran dan ketabahan harus terombang-ambing menghadapi ketidakpastian? Rakyat sudah cukup rela menerima keadaan sulit yang ada. Namun, apabila terus diperlihatkan kondisi pengambil kebijakan yang saling tuding, tidak sinkron, tidak harmonis dan amburadul, apakah layak rakyat menanggung buruknya kredibilitas para pembantu presiden?

(Penulis adalah wartawan dan kini menjadi Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat (2020-2025).