Brexit Memanas, Pembekuan DPR Picu Demo Besar di Inggris

Brexit Memanas, Pembekuan DPR Picu Demo Besar di Inggris

1 September 2019
Demo memprotes kebijakan PM Inggris Boris Johnson, Sabtu.

Demo memprotes kebijakan PM Inggris Boris Johnson, Sabtu.

RIAU1.COM - Inggris mulai memanas menjelang pelaksanaan Brexit. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson cukup berani membekukan DPR atau Parlemen. 

Pembekuan parlemen oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membuat demonstrasi terjadi di sejumlah kota di Inggris, Sabtu (31/8/2019).

Mereka memprotes dan menentang langkah kontroversial Johnson, pengganti Theresa May itu. 

Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di berbagai kota sejak pagi. Mereka membawa banyak spanduk bertuliskan #StopTheCoup.

 

Seperti dilansir CNBC Indonesia, Minggu, 1 September 2019, Rencananya akan ada 30 lokasi titik demonstrasi, diantaranya Manchester, York dan Newcastle di Inggris utara, ibukota Skotlandia Edinburgh serta Belfast di Irlandia Utara.

Sementara di London, sejumlah demonstran berunjuk rasa di Downing Street sambil meneriakkan "Boris Johnson, malu pada Anda!". Mereka juga memegang tulisan tangan bertuliskan "Pertahankan demokrasi: tahan penutupan parlemen" dan "Bangun Inggris! Atau selamat datang di Jerman 1933".

"Keputusan tentang apa yang terjadi pada Brexit tidak boleh menjadi masalah apa yang diputuskan Boris Johnson," kata seorang pendemo Bernard Hurley sebagaimana dilansir AFP. "Dia mengambil keputusan dari parlemen yang tidak demokratis."

Sebelumnya, akhir pekan lalu Boris Johnson membuat gebrakan besar untuk memastikan Brexit tetap terjadi pada 31 Oktober. Ia mengusulkan kepada Ratu Inggris untuk menutup sementara Parlemen. 

Usulan itu pun disetujui Ratu. Parlemen ditutup sementara hingga 14 Oktober. Ini berarti Parlemen tidak bisa memutuskan apapun terkait Brexit hingga waktu pembukaan tiba, yang mana akan membuat Brexit tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) lebih mungkin terjadi.

Loading...


Selain itu, mengutip CNN International, pundsterling juga diperkirakan akan anjlok parah akibat no-deal Brexit, dan semua kekacauan ini bisa terjadi dalam hitungan bulan hingga tahun.
Sebelumnya anggota oposisi no-deal Brexit berencana mengesahkan undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk mengupayakan perpanjangan batas waktu agar no-deal Brexit tidak sampai terjadi. Apabila UU tersebut gagal disetujui Uni Eropa (UE), oposisi telah menyiapkan opsi kedua, yaitu melahirkan referendum kedua.

Sayangnya, Johnson telah melangkah lebih dulu. Seperti janjinya sebelum menjadi perdana menteri, ia akan membuat Brexit terjadi tepat waktu, baik dengan ataupun tanpa kesepakatan.

Padahal, apabila Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan, hal ini bisa membawa dampak buruk pada ekonomi Inggris. Seperti yang banyak dikatakan, no-deal Brexit bisa membuat ekonomi Inggris terjerat krisis dan membuat posisi ekonomi terbesar kelima di dunia itu mundur ke posisi ketujuh.


Oleh karenanya, Brexit yang tanpa kesepakan sangat ditentang oleh bisnis, Brexiteers (para pendukung Brexit dengan kesepakatan) dan berbagai politisi. 

Pada 14 Oktober nanti, saat Parlemen kembali dibuka melalui pidato yang dibacakan Ratu, waktu untuk memperdebatkan Brexit sebenarnya masih ada, namun akan semakin tipis.

 

Sebab, setelah pidato, umumnya akan ada debat parlemen selama kurang lebih lima hari. Itu berarti waktu mengupayakan UU Brexit akan menjadi lebih sedikit bagi Parlemen. Padahal Inggris dijadwalkan kembali bertemu Dewan Uni Eropa pada 17 dan 18 Oktober mendatang.

Apabila negosiasi berhasil, Johnson kemungkinan akan pulang dari pertemuan itu dengan kesepakatan Brexit baru. Namun, apabila gagal, Brexit no-deal nampaknya menjadi satu-satunya pilihan yang tidak bisa dihindari.

R1/Hee