Sidang Pemalsuan SK Menhut, Saksi Ahli: Kondisinya Bisa Disebut Force Majeur, Bisa Dimaklumi

Sidang Pemalsuan SK Menhut, Saksi Ahli: Kondisinya Bisa Disebut Force Majeur, Bisa Dimaklumi

23 Mei 2019
Sidang dugaan pemalsuan SK Menhut di PN Siak

Sidang dugaan pemalsuan SK Menhut di PN Siak

RIAU1.COM -Sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan SK Menhut nomor 17/Kpts.II/1998 kembali digelar di PN Siak, Provinsi Riau pasa Kamis 23 Mei 2019. Kali ini, agenda sidang mendengarkan keterangan saksi, di mana ada dua saksi ahli dihadirkan dari Penasehat Hukum (PH) Terdakwa Suratno Konadi (Direktur PT DSI) dan Teten Efendi (Eks Kadishutbun Siak).

Yusril Sabri dalam kesempatan tersebut menghadirkan dua saksi ahli. Pertama Dosen Fakultas Hukum Unand Feri Amsari. Kedua pakar hukum yang juga Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta Prof Mudzakir.

Dalam sidang yang diketuai Majelis hakim Roza El Afrina ini, Dosen Fakultas Hukum Unand Feri Amsari memaparkan tentang kondisi negara ketika SK Menhut dimaksud ke luar dalam keadaan Kahar atau Force Majeur (Dalam keadaan berbahaya, red). Atau dikenal ketika itu sebagai tragedi 1998. Dalam momen tersebut konstitusi negara dalam keadaan tidak stabil.

Karena negara masih dalam keadaan demikian, lanjut Feri, maka memang administratif formil yang mengurus itu dalam keadaan normal atau tidak. Atau petugas negara yang mengurusi itu adalah petugas normal.

"Kalau negara dalam keadaan bahaya, maka hukum yang berlaku ketika itu mekanisme yang disepakati untuk menyelematkan negara. Ketika itu tidak ada hukum, hukumnya disebut tata negara darurat. Sehingga jika ada administrasi dapat disesuaikan atau dibahas kemudian," jawabnya.

Kemudian, karena SK ke luar dalam keadaan darurat, dan selama masa itu ada pertimbangan karena negara kacau. Maka berbagai persyaratan kalau memang bisa dipenuhi dalam kaitan administrasi di saat Force Majeur (keadaan darurat, red) maka urusan administrasi dapat memaklumi kondisi.

"Apakah kondisi berbahaya ini bisa dinilai saat keadaan normal..?," tanya penasehat hukum kepada ahli.

Ia menjawab, soal kerusuhan Mei 1998, proses ketika itu memang tidak ada dijalankan dengan normal. Menurutnya negara waktu itu boleh dikatakan terhenti. "Itu tertuang dalam makalah saya, jika ada yang berurusan ketika huruhara, harusnya bisa ditinjau ulang ketika itu," ucapnya.

Loading...

Kemudian mengenai apakah boleh putusan presiden ditegaskan oleh Menteri, menurut PH kedua terdakwa, dengan status Menteri sebagai pembantu Presiden sesuai amanat perundang-undangan, maka dibolehkan.

Feri menambahkan, perihal SK Menhut yang keluar ketika itu berdasarkan pertanyaan penasehat hukum dimana kondisi Siak ketika itu juga dalam proses jelang pemekaran. Menurutnya atas peralihan kondisi tertentu yang kemudian harus dimaklumi bahwa seseorang tidak bisa segera melakukan kewajiban.

"UU memberi ruang untuk itu, karena peralihan pemerintahan, itu kondisinya bisa disebut force majeur dan bisa dimaklumi kondisinya demikian," ia meyakinkan.

Kemudian pertanyaan dilanjutkan dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menanyakan beberapa hal, mulai legalitas saksi ahli yang terjawab dengan baik.

JPU Syahril mempertanyakan kenapa ada aturan keluar pada tahun 1998 sementara pada tahun 1996 dan 1997 kondisi tidak kondusif, atau krisis. Feri pun mengungkapkan puncak negara dalam bahaya terjadi 21 Mei 1998, dan tiga hari sebelumnya. Sehingga seluruh proses administrasi masih berjalan sebelum puncaknya.

"Sehingga jika ditanya apakah interval tahun 98-99, apakah ada administrasi berjalan? Tentu ada yang berjalan dan ada yang tidak, karena ketika itu masa transisi. Keadaan bahaya tidak hanya dilihat dari subjektiftas presiden saja, kajian hukum tata negara bersentuhan dengan politis," urainya.

Menurut Feri, secara keilmuan tidak ada keadaan bahaya yang tidak mempertimbangkan kondisi, dimana saja negara. Sehingga perspektif melihat objek berbeda dan jika dinilai ada kelalaian administrasi dimaafkan atau tidak, maka lanjutnya penilaian bisa dilakukan.

Atas kondisi Force Majeur inilah, memang menurut pihak PT DSI menyebabkan perizinan tidak dapat dilengkapi dalam jangka waktu satu tahun. Dimana SK terbit 6 Januari 1998, dan tragedi 1998 terjadi empat bulan kemudian. Dilanjutkan dengan terjadinya pemekaran wilayah administratif Pemkab Siak pada 1999.