OJK Minta Tekfin Tetap Utamakan Aspek Perlidungan Konsumen

OJK Minta Tekfin Tetap Utamakan Aspek Perlidungan Konsumen

10 Maret 2019
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam suatu acara. Foto: Antara.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam suatu acara. Foto: Antara.

RIAU1.COM -Perkembangan "tekfin" atau yang akrab dikenal sebagai "fintech" seharusnya bisa memiliki banyak manfaat di Indonesia. Pasalnya, tingkat inklusi keuangan nasional yang masih rendah.

"Kami mengharapkan perkembangan industri finansial berbasis teknologi atau 'tekfin' yang sangat pesat bisa dimanfaatkan untuk kepentingan perekonomian nasional dan masyarakat. Namun, tekfin tetap mengutamakan aspek perlidungan konsumen," kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dikutip dari Antara, Sabtu (9/3/2019).

Dengan jumlah penduduk yang besar dan demografi penduduk yang tersebar, tingkat inklusi keuangan pada tahun 2016 sebesar 67,8 persen. Makanya, perkembangan fintech adalah keniscayaan.

"Untuk itu, kami mengarahkannya agar bermanfaat untuk perekonomian nasional dan kepentingan masyarakat luas serta mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat," harap Wimboh.

Menurut hasil riset Bank Dunia, sebanyak 20 persen kenaikan inklusi keuangan melalui adopsi layanan keuangan digital akan menyediakan tambahan 1,7 juta pekerjaan, bahkan lebih di negara berkembang. Indonesia juga memiliki modal besar untuk mendukung perkembangan fintech yaitu jumlah masyarakat kelas menengah yang mencapai 45 juta orang, serta total pengguna internet yang mencapai 150 juta.

"Untuk mendorong manfaat fintech, kami telah menyediakan kerangka pengaturan dan pengawasan yang memberikan fleksibilitas ruang inovasi namun tanpa mengorbankan prinsip-prinsip transparan, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan fairness (TARIF)," sebut Wimboh.

Fleksibilitas itu dilakukan antara lain melalui penyediaan payung hukum inovasi keuangan digital dan pengaturan per produk seperti layanan inovasi keuangan keuangan digital, layanan digital banking, peer to peer lending dan equity crowdfunding. Khusus untuk layanan pinjam meminjam atau "peer to peer lending", OJK juga telah menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

"Asosiasi ini untuk menetapkan standar (code of conduct) dengan menggunakan pendekatan disiplin pasar yang berlaku bagi anggotanya. Menyediakan Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Secara Bertanggung Jawab, yang memberikan panduan etika serta perilaku bertanggung jawab bagi anggota AFPI," jelas Wimboh.

Terkait perkembangan tekfin P2P Lending, hingga Januari 2019 akumulasi pinjaman tercatat Rp25,9 triliun dengan total pinjaman Rp5,7 triliun. Perusahaan terdaftar atau berizin 99 perusahaan.

Jumlah rekening lender (pemberi pinjaman) 267.496. Jumlah rekening borrower (peminjam) 5.160.120 rekening.

"Untuk membangun perlindungan bagi pengguna fintech P2P lending, kami terus meminta agar masyarakat hanya bertransaksi melalui fintech P2P lending yang terdaftar dan berizin OJK. Kami minta menghindari fintech illegal," ucap Wimboh.

Satgas Waspada Investasi telah berhasil mendeteksi fintech illegal. Jumlahnya mencapai 803 entitas.

"Satgas Waspada Investasi sudah meminta Kemkominfo untuk menutup fintech illegal tersebut. Kami juga meminta bagi masyarakat yang sudah menjadi korban fintech illegal untuk segera melaporkannya ke pihak Kepolisian," pungkas Wimboh.