Ini Riset ICW Soal Potensi Kerugian Keuangan Negara Triliunan Rupiah

Ini Riset ICW Soal Potensi Kerugian Keuangan Negara Triliunan Rupiah

16 Februari 2019
Ilustrasi uang Rupiah dan Dolar AS.

Ilustrasi uang Rupiah dan Dolar AS.

RIAU1.COM - Capres Prabowo Subianto pernah menyebutkan potensi kerugian keuangan negara dan kebocoran anggaran cukup besar. 

Hasil riset ICW juga mengungkapkan bahwa potensi kerugian keuangan negara  triliun Rupiah.

Seperti dikutip Riau1.com dari bisnis.com, Sabtu, 16 Februari 2019, Indonesia Corruption Watch merilis hasil riset terhadap sektor pangan dan lingkungan hidup tentang adanya indikasi kerugian negara dan transaksi yang tidak dilaporkan dalam jumlah signifikan.
 
Kedua sektor itu menjadi salah satu bahasan dalam debat calon presiden (capres) pada Minggu (17/2). Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan agar para kandidat capres menanggapi isu-isu di sektor-sektor tersebut dengan serius.
 
Riset yang disusun oleh Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas, Egi Primayogha, dan Mouna Wasef itu menyoroti adanya indikasi transaksi yang tidak dilaporkan yang ditemukan dalam pengelolaan impor pangan Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, dan daging. 
 
Berdasarkan riset tersebut, nilai transaksi yang tidak dilaporkan mencapai US$1,451 miliar atau setara dengan Rp20,324 triliun. Ini didapat dari besar volume yang terindikasi tidak dilaporkan, yang sebesar 2,74 juta ton. 
 
Selama periode 2005–2017, volume impor menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebanyak 56,59 juta ton. Sementara itu, menurut negara penjual, volumenya sebanyak 59,33 juta ton.
 
"Indikasi kerugian negara ditemukan dalam pengelolaan ekspor komoditas tambang yaitu batu bara, timah, dan bijih nikel," tulis riset tersebut, seperti dikutip Bisnis, Sabtu (16/2).
 
Dalam kurun waktu 2007–2017, nilai indikasi kerugian negara dari tiga jenis komoditas tambang tersebut mencapai Rp144,762 triliun. Perinciannya, batu bara Rp130,334 triliun, timah Rp7,635 triliun, dan bijih nikel Rp6,793 triliun.
 
"Masalah-masalah itu terjadi akibat ketidakjelasan visi dan cita-cita pemerintah dalam pengelolaan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur," sebut laporan itu.
 
ICW menyebut terdapat ketidakjelasan segi perencanaan dan inkonsistensi kebijakan, sehingga menciptakan loophole di regulasi dan kelembagaan. Di sisi lain, ketergantungan terhadap Sumber Daya Alam (SDA) untuk dijadikan sumber penerimaan juga masih tinggi.
 
Koordinasi antar instansi pemerintah yang berwenang juga dapat dikatakan buruk. Terdapat ragam jenis data berbeda yang digunakan masing-masing instansi.

Di lain pihak, biaya produksi pun tinggi terutama untuk sektor pangan dan energi, sehingga memunculkan hal-hal seperti inefisiensi, value chain yang panjang, budaya broker, dan sebagainya.
 
Selain itu, ICW menyebut masih ada masalah-masalah lain yang menunggu untuk diselesaikan. Pengawasan dan penegakan hukum terkait pengelolaan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur dinilai sangat buruk. 
 
Bahkan, transparansi dan akuntabilitas juga lemah. ICW menyebut bisnis itu hanya dikuasai oleh segelintir elite, sehingga dampak dan manfaat untuk publik seluas-luasnya tidak dirasakan.

Penerimaan negara rendah dan indikasi penyimpangan serta korupsi akan terus ditemukan.

 
ICW menyatakan agar kondisi tersebut harus direspons serius oleh kedua kandidat. Siapapun yang terpilih harus melakukan perbaikan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. 
 
"Selama ini, lingkungan hidup tidak pernah diperhatikan secara serius sehingga berdampak semakin buruk pada kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan kesehatan warga. Perlu ada paradigma berpikir yang mementingkan generasi mendatang," papar laporan itu.
 
ICW mengingatkan bahwa Pilpres harus menjadi ajang koreksi untuk permasalahan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur.

Perlu ada inovasi dan komitmen dari kedua kandidat untuk menuntaskan permasalahan tersebut.

R1/Hee